Sejarah Sengketa Makam Mbah Priok

Jakarta - Nama Mbah Priok tiba-tiba saja menjadi pembicaraan setelah terjadi bentrok antara Satuan Polisi Pamong Praja dengan warga. Siapa sebenarnya Mbah Priok? Mbah Prio adalah julukan untuk Habib Hasan al-Haddad, pendakwah agama Islam yang hidup sekitar abad ke-18. Lelaki ini berasal dari Palembang ini dan diperkirakan meninggal pada 1756 dan dimakamkan di Pulau Pondok Dayung. Dia datang dengan perahu layar bersama tiga temannya untuk berdakwah di  pulau Jawa.

Pada 1930, kolonial Belanda memindahkan makamnya ke Tempat Pemakaman Umum Dobo di Koja. Lalu pada 1987, pemerintah memindahkan kompleks pemakaman Dobo ke TPU Budi Dharma di Cilincing. Satu versi menyebutkan, kerangka jenazah Mbah Priok dipindah pada 1997. Namun, setelah dua tahun dipindah, ahli waris justru membangun kompleks makam di sana. Padahal lahan itu milik PT Pelindo.


Versi lain, menurut arkeolog Candrian Attahiyat  memang ada pemindahan makam secara massal dari Dobo ke Cilincing pada 1994. "Saat makam lain dipindah, makam Mbah Priok dipertahankan," kata Candrian.

Budi, pengurus makam, mendukung pendapat Candrian. Menurut Budi, ketika itu, setiap pekerja yang diperintahkan untuk membongkar makam langsung jatuh sakit. Karena itu, tidak ada pekerja yang berani meneruskan pekerjaan itu. "Jadi (jenazah) Mbah Priok masih tetap ada di sini," katanya di lokasi pemakaman.

Ahli waris Habib Hasan al-Haddad mengklaim lahan pemakaman itu adalah milik keluarga berdasarkan verklaring nomor 1268/RB pada 19 September 1934. Pada 2001, ahli waris menggugat PT Pelindo II melalui Pengadilan Negeri Jakarta Utara, tapi pengadilan tidak menerima gugatan tersebut. Ahli waris tidak mengajukan banding untuk melawan keputusan itu.

Mereka tetap mempertahanan dua bangunan yang ada di lahan seluas 5 hektare itu. Satu bangunan berukuran 10 x 8 meter digunakan Habib Ali Al Idrus, ahli waris makam, sebagai tempat tinggalnya bersama keluarga dan sekitar 20 orang santrinya. Sementara satu bangunan lagi, berukuran 8 x 6 adalah tempat makam Habib Hasan.

Meski kalah dalam banding, ritual di makam itu tetap terjadi. Bila ada haul, ada sekitar seribuan orang berkumpul dan mengaji bersama di areal makam seluas seluas 5 hektare. Haul itu, tentu saja mendatangkan rezeki bagi penduduk sekitar. Mereka berjualan mulai dari kembang, peci, mukena, makanan sampai aneka baju.

Sengketa tanah ini makin memuncak setelah pemilik tanah PT Pelindo II atau Jakarta Indonesia Container Terminal (JICT) mencoba menggusur makam ini. Pemerintah Jakarta Utara juga ikut mengeluarkan surat perintah bongkar untuk membongkar makam itu. Akhir tahun lalu, misalnya, mereka sudah menyegel pagar makam itu. Toh, para peziarah tak surut. Ribuan orang tetap berziarah dan berdoa di sana.

Salah satu pengunjung, Rahmat Yudi, mengatakan dia sengaja datang ke makam tersebut untuk ziarah dan berdoa. Dia juga mempertanyakan penutupan gerbang dan jalan masuk menuju makam oleh pihak JICT. Menurutnya, penutupan tersebut tidak adil. "Karena ini tanah Islam. Seharusnya dikasih jalan," kata pria asal Bekasi itu. Rahmat juga menyatakan keyakinannya bahwa makam tersebut tidak akan bisa digusur karena kekeramatannya. "Walau presiden sekalipun, tidak akan bisa (menggusurnya)," ujar Rahmat. Menurutnya, dulu banyak yang meninggal karena menggusur makam tersebut.

Sengketa itu kemudian meledak menjadi bentrokan Selasa, 14 April 2010. Puluhan orang terluka hanya karena rebutan tanah.

Sumber: Tempo Interaktif

Tidak ada komentar:

Posting Komentar


Ambigos Tiada Hari Tanpa Meng-Update Ambigos Setiap Harinya!
 

About Me

Foto saya
Ahmad Restu (lahir Jakarta, 1 Mei 1993) adalah seorang alumnus SD Negeri Tugu Selatan 02 Petang, SMP Negeri 136 Jakarta, dan hingga saat ini duduk di bangku sekolah SMK Negeri 36 Jakarta mengambil jurusan Teknik Komputer dan Jaringan (TKJ).

Follow On Facebook

Follow Now!

RSS Feed

Ambigos Copyright © 2009 Blogger Template Designed by Bie Blogger Template